Sabtu, April 25, 2009

guilty pleasure.. uughh! :(

Mirror mirror on the wall..


Pagi ini, seperti yang selalu saya lakukan, sejenak saya terpekur memandangi bayangan diri dalam cermin kecil yang biasa saya bawa dalam tas.. Kali ini saya teringat pada obrolan saya dengan seorang teman beberapa hari yang lalu.

Obrolan ringan yang mengena di hati dan berbuntut terngiang dalam pikiran saya..

Tentang keberhasilannya menyelesaikan kuliah (teman saya hari itu datang ke kampus untuk mengurus revisi skripsi pasca-komprehensif) setelah membuat pengakuan kepada orangtuanya mengenai biaya kuliah selama ini yang selalu dilebih-lebihkan jumlahnya.

”Beneran loh Ween, waktu itu gue mikir, kok nilai gue turun terus.. Sampe akhirnya gue bilang ke nyokap, “Ma, mulai sekarang aku jujur nih soal bla..bla..bla” dan sejak saat itu alhamdulillah nilai gue naik dan skripsi gue lancar-lancar aja. Yah, meski masih nyatut dikit-dikit dari uang beli buku (nyengir mode on), tapi gak sebanyak dulu yang bisa sampe 1-1,5 jutaan.” Walahh, saya sampai membatin “wow!” memdengarnya..

(Meski kasus yang sama tidak berefek demikian terhadap seorang teman saya yang lain.. hokinya gila-gilaan! huhuh^^_ bikin iri deh.. ups! :P)


Hmmm..

Mungkin obrolan di atas terkesan sepele, tapi mendengar efek yang terjadi pada teman saya bukan semata kebetulan kan? Kenyataannya, masalah yang sama juga terjadi pada saya. Meski dianugerahi otak yang lumayan encer, nilai saya bisa dikatakan pas-pasan (nyaris menyedihkan sebenarnya.. jaim sedikit laah^^_). Bahkan saat ini saya masih berjuang mencuci nilai sambil menyusun skripsi (yang sampai dua kali kena revisi sebelum judul plus konsep ajuan skripsi saya akhirnya disetujui oleh kajur untuk bisa diteruskan ke penunjukan dosen pembimbing).

Saya berfikir, meski tidak sebanyak teman saya jumlah yang saya ’minta’ kepada orangtua saya (istilah saya ”pembulatan nilai”.. huhuh^^_ munafik sekali saya ini), tetap saja saya telah melakukan ’dosa’ yang sama kan? Membohongi orangtua saya. (ternyata saya tidak berbakat menjadi seorang mafia yah? :P)

Saking terus kepikiran, saya jadi sangat mengkhawatirkan perkembangan dan kelancaran skripsi saya. Deadline penyelesaian skripsi untuk semester ini jatuh pada 14 Agustus, kurang dari 4 bulan lagi. Sementara berkas skripsi dan penunjukan pembimbing saya belum dikembalikan oleh bagian komprehensif (”tanggal 6 Mei nanti Mbak, revisi terakhir tanggal 6 April kan?” kata mas-mas di bagian kompre. Ya salaam, masa iya prosesnya sampai sebulan sih? :( total sisa waktu tinggal 3 bulan deh..). Belum riset dan lain-lain a.k.a kalau-kalau dipersulit sama dosen pembimbing (astagfirullah, saya sudah su’udzon pada calon pembimbing saya :P).


Inilah yang saya sebut guilty pleasure.. Kesenangan yang berbuntut rasa bersalah.

Huhuh^^_ kalau dikaji ulang, gak lazim yah, menikmati sesuatu yang menyisipkan rasa bersalah di lubuk hati kita. Sepele memang, tapi untuk setiap kebohongan kecil yang kita lakukan pada akhirnya akan menyebabkan semakin berkurangnya rasa bersalah dalam diri kita dan nantinya malah akan mematikan rasa bersalah itu. Alhasil begitu kita tidak memiliki rasa bersalah lagi, kita akan semakin lihai melakoni kebohongan besar dengan akibat yang jauh lebih fatal dari sekedar "sulit lulus kuliah dengan hasil yang memuaskan".


Kepercayaan akan menjadi mahal sekali untuk bisa kita miliki..


Bagaimana menurut Anda?




Jumat, April 24, 2009

Fasilitas..

Mirror mirror on the wall..

Ketika Anda dihadapkan pada kata “fasilitas”, apa yang terlintas dalam benak dan pikiran Anda?
Apakah perasaan puas, merasa segala kebutuhan Anda pada akhirnya terpenuhi atau justru Anda merasa terbebani dengan adanya fasilitas dalam kehidupan Anda, terbebani oleh perasaan tidak menyenangkan yang berkaitan dengan ketergantungan yang dapat berakibat pada cacat-kemandirian?
Bagi saya, saya menantikannya sekaligus khawatir merasa terbebani karenanya.
Kenapa? Karena saya terdoktrin oleh kalimat yang berbunyi ”Hidup bagai roda yang berputar”. Bahwa tak selamanya seseorang berada dipuncak kejayaan hidup..
Namun seiring berjalannya waktu, fasilitas menjadi sebuah simbol gaya hidup hedonis. Membuat saya muak dan mulai mempertanyakan arti sebuah kemapanan.
Dalam hal fasilitasi ini saya merasa perlu untuk introspeksi diri, mengoreksi apa-apa yang kurang atau terlalu berlebih dalam diri saya. Satu hal yang sangat saya sadari, menuntut sesuatu untuk memuaskan ego pribadi memang semudah membalikkan telapak tangan, namun saat kita dihadapkan pada sebuah tuntutan untuk mengusahakan sendiri dengan segala daya dan upaya kita untuk mewujudkannya...? Jangankan saya, Anda sendiri pasti sudah memiliki jawaban ’sahih’ untuk pernyataan itu.
Banyak diantara kita -termasuk saya tentunya- yang cenderung memilih jalan mudah untuk memenuhi ego itu. Dengan berbagai cara dan alasan kita masing-masing. Untuk kasus saya, saya cenderung bersikap menurut gengsi dan kekerasan hati saya (bad uween, bad! :P). Saya lebih suka menyimpan keinginan itu selama beberapa saat, baru kemudian mencoba mewujudkannya setelah melalui proses berfikir kilat (karena saya termasuk pribadi yang kurang sabar :P), pada akhirnya ketika keinginan saya tidak terwujud, gengsi mulai memainkan perannya.
See? Hasil introspeksi saya menyatakan bahwa saya memang pribadi yang kurang bijak. Jadi sesekali ketika keinginan saya tidak terfasilitasi, saya menyikapinya dengan ”gak kesampean bukan berarti Allah gak sayang sama gue, belum waktunya aja kali. Ingat, Ween! Kegagalan adalah sukses yang tertunda”. Walau sebenarnya perasaan saya sudah kembang-kempis bahkan mengkeret memikirkannya.. :D
Pasti ada diantara Anda yang senaif saya dalam menyikapi kegagalan dalam memfasilitasi diri... Karena untuk meluapkan rasa kecewa (bahkan sedih atau marah) kok rasanya seperti menuding Sang Maha Pencipta.
Namun tidak saya pungkiri, bahwa pikiran-pikiran negatif biasanya bergejolak ditengah usaha untuk tetap mempertahankan pikiran positif itu. Meski pada akhirnya semuanya saya ambil sebagai pelajaran hidup dalam mengambil keputusan selain sebagai cambuk agar saya tetap menjadi pribadi yang optimis dan antusias.

Mungkin Anda mau menambahkan? Saya akan sangat senang jika bisa mendapat masukan dan kritik serta saran lain selain dari refleksi saya dihadapan cermin.. :)